Ahlan wa Sahlan

Selamat datang di Blog KMMF UGM, sebuah media dakwah kampus Farmasi UGM.
Sekretariat:
Masjid Fakultas Farmasi UGM
Jl. Medika Sekip Utara, Yogyakarta 55281
e-mail: kmmfugm@ymail.com


Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Meneladani akhlak Nabi Ibrahim AS

Assalamu’alaikum sahabat sahabati smua..  ^_^
G kerasa ya kita udah sampai pada hari raya idul adha lagi..
Ada yang spesial g si di hari raya idul adha kali ini?? Wah..tentu kita harus hadir dengan semangat yg lebih berkoar lagi ya..
Nah untuk memantabkan smangat dan konsep diri dalam memaknai idul adha.. yuk kita simak bersama ulasan berikut ini....  check it dot.... :D
               
-------
Setiap 10 Dzulhijah kita melaksanakan shalat Idul Adha atas perintah Rasulullah SAW yg mengikuti jejak nabi Ibrahim AS. Allah telah berfirman “Kemudian Kami mewahyukan kepadamu ‘Ikutilah ajaran Ibrahim yg hanif ‘“.
Pada lebaran qurban atau lebaran haji sperti ini smestinya kita snantiasa mengambil pelajaran dari kegigihan dan pengorbanan nabi Ibrahim utk kita jadikan pedoman dalam hidup kita yg penuh dgn tantangan.
Nabi Ibrahim sebagai bapak para nabi dikenal gigih menentang kemusyrikan dan mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah. Seruan pertama ditujukan kepada bapaknya dan kaumnya “Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai sembahan-sembahan?’ Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yg nyata.” .

Bersyukur Dengan yang Sedikit

syukur_nikmat_uang_rizkiAlhamdulillah, puji syukur pada Allah pemberi berbagai macam nikmat. Shalawat dan salam senantiasa dipanjatkan pada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Setiap saat kita telah mendapatkan nikmat yang banyak dari Allah, namun kadang ini terus merasa kurang, merasa sedikit nikmat yang Allah beri. Allah beri kesehatan yang jika dibayar amatlah mahal. Allah beri umur panjang, yang kalau dibeli dengan seluruh harta kita pun tak akan sanggup membayarnya. Namun demikianlah diri ini hanya menggap harta saja sebagai nikmat, harta saja yang dianggap sebagai rizki. Padahal kesehatan, umur panjang, lebih dari itu adalah keimanan, semua adalah nikmat dari Allah yang luar biasa.
Syukuri yang Sedikit
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667). Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rizki yang banyak, rizki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri? Sadar akan nikmat tersebut saja mungkin tidak terbetik dalam hati.
Kita Selalu Lalai dari 3 Nikmat

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/shalat-istisqa-1.html


Khutbah Istisqa
Khutbah istisqa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah dan hadits Ibnu ‘Abbas. Namun para ulama berbeda pendapat apakah lebih dahulu shalat kemudian khutbah ataukah sebaliknya:
Pendapat pertama, shalat dahulu kemudian khutbah lalu berdoa. Diantara dalilnya adalah hadits Abu HurairahRadhiallahu’anahu:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam keluar untuk melakukan istisqa`. Beliau shalat 2 raka’at mengimami kami tanpa azan dan iqamah. Lalu beliau berkhutbah di hadapan kami dan berdoa kepada Allah. Beliau mengarahkan wajahnya ke arah kiblat seraya mengangkat kedua tangannya. Setelah itu beliau membalik selendangnya, menjadikan bagian kanan pada bagian kiri dan bagian kiri pada bagian kanan” (HR. Ahmad 16/142, hadits ini dinilai dhaif oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah, 5360)

Shalat Istisqa (1)


Istisqa artinya meminta hujan. Dalam kamus Lisaanul ‘Arab disebutkan:
ذكر الاستسقاء في الحديث، وهو استفعال من طلب السقياأي إنزال الغيث على البلاد والعباد
Istisqa disebutkan dalam hadits. Arti istisqa adalah permohonan meminta as saqa, yaitu diturunkannya hujan kepada sebuah negeri atau kepada orang-orang”1
Namun di kalangan ahli fiqih, sudah dipahami jika disebut shalat istisqa, yang dimaksud adalah permohonan diturunkannya hujan kepada Allah, bukan kepada makhluk2.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan) ketika terjadi musim kering, karena RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan hal tersebut, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha:

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik


Akh, ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]
Kok dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh, saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan seorang akhwat]
Ana suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang ikhwan]
Mungkin fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun bahkan

Interaksi dg Lawan Jenis

Assalamualaikum...
Apa kabar saudara2ku semua?? ^^
wah,, rasanya sudah lama ya g buat notes, hehe

akhirnya dpt materi juga, kemarin bingung mau upload apa :)

well, ini rangkuman dari MISFAKES 8 April 2011 di Masjid Ibnu Sina
(hayo, staffnya banyak yg g datang nih kemarin, ckckck,, lain kali datang yaa)

semoga bermanfaat :D

****
pembicara: Ust.Widiyanto

Interaksi antara putra dan putri itu hal yang wajar. Apalagi dalam kehidupan sosial - bermasyarakat. Tidak mungkinlah kita menghindari intraksi tersebut.Satu hal yang perlu kita ingat, islam tidak MELARANG. Islam hanya MENGATUR tata cara berinteraksi yang baik. InsyaAllah itu demi kebaikan kita juga kan?? :)

Sebelum masuk kedalam cara berinteraksi yang baik, Kita ingat dulu urutan2 kerja setan dalam menggoda manusia.

Teman-teman pasti sudah tau kan kalau syaitan itu kerjaannya menggoda dan menyeret kita ke hal-hal yang buruk?
Nah, tau juga kan kalau si syaitan itu memanfaatkan setiap kesempatan?, banyak jalan, gitu.
Bahkan celah kecil sekalipun, yang kadang tak kita sadari.

celah kecil seperti apa?

Ketenangan Jiwa


Dalam menjalani hidup kita sering kali dihadapkan dengan berbagai masalah yang kadang menyebabkan kita cemas, takut, maupun bimbang dalam menentukan suatu pilihan. Hal ini menyebabkan perasaan kita penat, tertekan, dan tak dapat berpikir dengan jernih. Hingga ada beberapa manusia yang memilih jalan singkat dengan melakukan kejahatan, bunuh diri, atau minum-minuman keras, padahal tindakan tersebut bukan suatu penyelesaian melainkan penambah masalah.

Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian jiwa sangat diperlukan dalam hidup ini yang terasa kian berat dihadapinya. Itu sebabnya, setiap orang ingin memiliki ketenangan jiwa. Dengan jiwa yang tenang kehidupan ini dapat dijalani secara teratur dan benar sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa menggapai ketenangan jiwa, banyak orang yang mencapainya dengan cara-cara yang tidak Islami, sehingga bukan ketengan jiwa yang didapat tapi malah membawa kekacauan dalam jiwanya. Untuk itu, secara tersurat, Al-Qur'an menyebutkan beberapa kiat praktis menggapai ketenangan jiwa.

1. Dzikrullah

Bila seseorang menyebut nama Allah, memang ketenangan jiwa akan diperolehnya. Ketika berada dalam ketakutan lalu berdzikir dalam bentuk menyebut ta'awudz (mohon perlindungan Allah), dia menjadi tenang. Ketika berbuat dosa lalu berdzikir dalam bentuk menyebut kalimat istighfar atau taubat, dia menjadi tenang kembali karena merasa telah diampuni dosa-dosanya itu. Ketika mendapatkan kenikmatan yang berlimpah lalu dia berdzikir dengan menyebut hamdalah, maka dia akan meraih ketenangan karena dapat memanfaatkannya dengan baik dan begitulah seterusnya sehingga dengan dzikir, ketenangan jiwa akan diperoleh seorang muslim, Allah berfirman yang artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram". (13:28).

Untuk mencapai ketenangan jiwa, dzikir tidak hanya dilakukan dalam bentuk menyebut nama Allah, tapi juga dzikir dengan hati dan perbuatan. Karena itu, seorang mu'min selalu berdzikir kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik duduk, berdiri maupun berbaring.

2. Yakin Akan Pertolongan Allah

Agar hati tetap tenang dalam perjuangan menegakkan agama Allah dan dalam menjalani kehidupan yang sesulit apapun, seorang muslim harus yakin dengan adanya pertolongan Allah dan dia juga harus yakin bahwa pertolongan Allah itu tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang terdahulu, tapi juga untuk orang sekarang dan pada masa mendatang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tentram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (3:126, lihat juga QS 8:10).
Namun harus kita ingat bahwa pertolongan Allah itu seringkali baru datang apabila seorang muslim telah mencapai kesulitan yang sangat atau dipuncak kesulitan sehingga kalau diumpamakan seperti jalan, maka jalan itu sudah buntu dan mentok. Dengan keyakinan seperti ini, seorang muslim tidak akan pernah cemas dalam menghadapi kesulitan karena memang pada hakikatnya pertolongan Allah itu dekat, Allah berfirman yang artinya: "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman: "bilakah datangnya pertolongan Allah?". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat". (QS 2:214).

3. Memperhatikan Bukti Kekuasaan Allah

Akan besarnya kekuasaan Allah yang tidak perlu dicemasi, tapi malah untuk dikagumi. Allah berfirman yang artinya: "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (tetap mantap dengan imanku)". Allah berfirman: ("kalau begitu) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah, kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS 2:260).

4. Bersyukur

Dengan bersyukur, kenikmatan itu akan bertambah banyak, baik banyak dari segi jumlah ataupun minimal terasa banyaknya. Tapi kalau tidak bersyukur, kenikmatan yang Allah berikan itu kita anggap sebagai sesuatu yang tidak ada artinya dan meskipun jumlahnya banyak kita merasakan sebagai sesuatu yang sedikit.

Apabila manusia tidak bersyukur, maka Allah memberikan azab yang membuat mereka menjadi tidak tenang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (QS 16:112).

5. Tilawah, Tasmi' dan tadabbur Al-Qur'an

Allah berfirman yang artinya: "Allah telah menurunkan perkataan yang baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhanya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya". (QS 39:23).

Oleh karena itu, sebagai mu'min, interaksi kita dengan al-Qur'an haruslah sebaik mungkin, baik dalam bentuk membaca, mendengar bacaan, mengkaji dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Manakala interaksi kita terhadap Al-Qur'an sudah baik, maka mendengar bacaan Al-Qur'an saja sudah membuat keimanan kita bertambah kuat yang berarti lebih dari sekedar ketenangan jiwa, Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal". (QS 8:2).

Dengan berbekal jiwa yang tenang itulah, seorang muslim akan mampu menjalani kehidupannya secara baik, sebab baik dan tidak sesuatu seringkali berpangkal dari persoalan mental atau jiwa. Karena itu, Allah Swt memanggil orang yang jiwanya tenang untuk masuk ke dalam syurga-Nya, Allah berfirman yang artinya: "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku". (QS 89:27-30).

Akhirnya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memantapkan ketenangan dalam jiwa kita masing-masing sehingga kehidupan ini dapat kita jalani dengan sebaik-baiknya.

Lailatul Qadar


Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita  berbicara
tentang surat Al-Qadar.
 
Surat  Al-Qadar  adalah  surat  ke-97  menurut urutannya dalam
Mushaf.  Ia  ditempatkan  sesudah  surat  Iqra'.  Para   ulama
Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat
Iqra'. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat
Al-Qadar turun setelah Nabi Saw. berhijrah ke Madinah.
 
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas
perintah  Allah  Swt.,   dan   dari   perurutannya   ditemukan
keserasian-keserasian yang mengagumkan.
 
Kalau  dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu  antara  lain
adalah  Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat
Al-Qadar  ini  berbicara  tentang   turunnya   Al-Quran,   dan
kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.
 
Bulan  Ramadhan  memiliki  sekian  banyak  keistimewaan, salah
satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran
"lebih baik dari seribu bulan."
 
Tetapi  apa  dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali
saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang
lalu,  atau  terjadi  setiap  bulan  Ramadhan  sepanjang masa?
Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang  yang  menantinya
pasti  akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik
material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya  air,
heningnya  malam,  dan  menunduknya pepohonan dan sebagainya)?
Bahkan masih banyak lagi  pertanyaan  yang  dapat  dan  sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
 
Yang  pasti  dan  harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan
pernyataan Al-Quran  bahwa,  "Ada  suatu  malam  yang  bernama
Lailat  Al-Qadar,  dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh
berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar
dengan penuh kebijaksanaan."
 
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu
malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang
penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS
Al-Dukhan [44]: 3-5).
 
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan
(QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr
[97]: l).
 
Malam  tersebut  adalah  malam  mulia.  Tidak  mudah diketahui
betapa besar kemuliannnya. Hal  ini  disyaratkan  oleh  adanya
"pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu:
 
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)
 
Tiga belas kali kalimat ma  adraka  terulang  dalam  Al-Quran,
sepuluh  di  antaranya  mempertanyakan  tentang kehebatan yang
berkait dengan hari  kemudian,  seperti:  Ma  adraka  ma  yaum
al-fashl,  dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak
mudah  dijangkau  oleh  akal  pikiran  manusia,  kalau  enggan
berkata  mustahil  dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari
angka tiga belas itu adalah:
 
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2)

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(QS Al-Balad [90]: 12)

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2)
 
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan  dengan
objek  pertanyaan  yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat,
dan sulit  dijangkau  hakikatnya  secara  sempurna  oleh  akal
pikiran manusia.
 
Walaupun   demikian,   sementara   ulama   membedakan   antara
pertanyaan ma  adraka  dan  ma  yudrika  yang  juga  digunakan
Al-Quran dalam tiga ayat.
 
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)

Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah)
dekat? (QS Al-Syura [42]: 17~.

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan
dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
 
Dua ayat pertama di  atas  mempertanyakan  dengan  ma  yudrika
menyangkut   waktu   kedatangan  kiamat,  sedang  ayat  ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.  Ketiga  hal  tersebut
tidak mungkin diketahui manusia.
 
Secara   gamblang   Al-Quran   --demikian   pula   As-Sunnah--
menyatakan bahwa Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari
kiamat,  tidak  pula mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini
berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal
yang  tidak  mungkin  diketahui  walau oleh Nabi Saw. sendiri,
sedang wa  ma  adraka,  walau  berupa  pertanyaan  namun  pada
akhirnya  Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi Saw. sehingga
informasi  lanjutan  dapat  diperoleh  dari  beliau.  Demikian
perhedaan kedua kalimat tersebut.
 
Ini  berarti  bahwa  persoalan  Lailat Al-Qadar, harus dirujuk
kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di  sanalah
kita dapat memperoleh informasinya.
 
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa
arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai  demikian?  Di
sini ditemukan berbagai jawaban.
 
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
 
1.  Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami
sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan  hidup  manusia.
Pendapat  ini  dikuatkan  oleh penganutnya dengan firman Allah
dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada  ulama
yang  memahami  penetapan  itu  dalam batas setahun). Al-Quran
yang turun pada malam Lailat Al-Qadar,  diartikan  bahwa  pada
malam  itu  Allah  Swt.  mengatur dan menetapkan khiththah dan
strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw.,  guna  mengajak  manusia
kepada  agama  yang  benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai  individu  maupun
kelompok.
 
2.   Kemuliaan.   Malam  tersebut  adalah  malam  mulia  tiada
bandingnya. Ia mulia karena terpilih  sebagai  malam  turunnya
Al-Quran,  serta  karena  ia  menjadi  titik tolak dari segala
kemuliaan yang dapat diraih. Kata  qadar  yang  berarti  mulia
ditemukan  dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang
kaum musyrik:
 
Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak
menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.
 
3. Sempit. Malam tersebut adalah  malam  yang  sempit,  karena
banyakuya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan
dalam surat Al-Qadr:
 
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh
((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan.
 
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara  1ain
dalam surat A1-Ra'd (13): 26:
 
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
 
Ketiga arti tersebut  pada  hakikatnya  dapat  menjadi  benar,
karena  bukankah  malam tersebut adalah malam mulia, yang bila
diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan  bahwa  pada
malam  itu  malaikat-malaikat  turun ke bumi membawa kedamaian
dan  ketenangan.  Namun  demikian,  sebelum  kita  melanjutkan
bahasan  tentang  Laitat  Al-Qadar,  maka terlebih dahulu akan
dijawab pertanyaan tentang kehadirannya  adakah  setiap  tahun
atau  hanya  sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas
abad yang lalu?
 
Dari Al-Quran  kita  menemukan  penjelasan  bahwa  wahyu-wahyu
Allah  itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena
umat sepakat mempercayai bahwa  Al-Quran  telah  sempurna  dan
tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka
atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam  mulia
itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh
malam  tersebut  adalah  karena  ia  terpilih  menjadi   waktu
turunnya Al-Quran.
 
Pakar  hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut
paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah  bersabda
bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
 
Pendapat  tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka
berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak  teks
hadis  yang  menunjukkan  bahwa  Lailat  Al-Qadar terjadi pada
setiap bulan Ramadhan. Bahkan  Rasululllah  Saw.  menganjurkan
umatnya  untuk  mempersiapkan  jiwa menyambut malam mulia itu,
secara khusus pada  malam-malam  ganjil  setelah  berlalu  dua
puluh Ramadhan.


Memang  turunnya  Al-Quran  lima  belas abad yang lalu terjadi
pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi  itu  bukan  berarti  bahwa
ketika  itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa
kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu
turun,  tetapi  karena  adanya  faktor  intern  pada malam itu
sendiri.
 
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk  kata
kerja  mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang
mengandung arti kesinambungan, atau  terjadinya  sesuatu  pada
masa kini dan masa datang.
 
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap
orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya  itu?
Tidak  sedikit  umat  Islam  yang  menduganya  demikian. Namun
dugaan itu menurut hemat penulis keliru, karena hal itu  dapat
berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga
baik untuk menyambutnya maupun tidak.  Di  sisi  1ain  berarti
bahwa   kehadirannya   ditandai  oleh  hal-hal  yang  bersifat
fisik-material,  sedangkan  riwayat-riwayat  demikian,   tidak
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
 
Seandainya,  sekali  lagi  seandainya,  ada  tanda-tanda fisik
material, maka itu pun takkan ditemui  oleh  orang-orang  yang
tidak    mempersiapkan   diri   dan   menyucikan   jiwa   guna
menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin  akan  menyatu  dan
bertemu.  Kebaikan  dan  kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih  kecuali  oleh  orang-orang
tertentu  saja.  Tamu  agung  yang  berkunjung ke satu tempat,
tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap  orang  di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang
sangat rindu atas  kedatangan  kekasih,  namun  ternyata  sang
kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
 
Demikian  juga  dengan  Lailat  Al-Qadar.  Itu  sebabnya bulan
Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan  ini  adalah
bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga
oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan  Ramadhan.
Karena,  ketika  itu,  diharapkan  jiwa  manusia yang berpuasa
selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai  satu  tingkat
kesadaran  dan  kesucian  yang  memungkinkan  malam  mulia itu
berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya  Rasul  Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan
merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
 
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah  mulai  bersemi,  dan
Lailat  Al-Qadar  datang  menemui seseorang, ketika itu, malam
kehadirannya menjadi saat qadar dalam  arti,  saat  menentukan
bagi  perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat
itu, bagi yang  bersangkutan  adalah  saat  titik  tolak  guna
meraih  kemuliaan  dan  kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna  menyertai
dan  membimbingnya  menuju  kebaikan  sampai  terbitnya  fajar
kehidupannya yang baru kelak  di  hari  kemudian.  (Perhatikan
kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
 
Syaikh  Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali
tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh  memberi
ilustrasi berikut:
 
     Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada
     dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering
     merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang
     terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan
     ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang
     itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu
     mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
 
Yang  membisikkan  kebaikan  adalah  malaikat,   sedang   yang
membisikkan  keburukan  adalah  setan  atau paling tidak, kata
'Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat  atau
setan.  Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui
orang yang mempersiapkan diri  menyambutnya,  menjadikan  yang
bersangkutan  akan  selalu  disertai  oleh  malaikat. Sehingga
jiwanya selalu terdorong  untuk  melakukan  kebaikan-kebaikan,
dan  dia  sendiri  akan  selalu merasakan salam (rasa aman dan
damai) yang tak terbatas sampai fajar malam  Lailat  Al-Qadar,
tapi  sampai  akhir  hayat menuju fajar kehidupan baru di hari
kemudian kelak.
 
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan  i'tikaf  di  masjid  dalam  rangka perenungan dan
penyucian jiwa. Masjid adalah tempat  suci.  Segala  aktivitas
kebajikan   bermula   di  masjid.  Di  masjid  pula  seseorang
diharapkan merenung  tentang  diri  dan  masyarakatnya,  serta
dapat  menghindar  dari  hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan
pikiran guna memperoleh tambahan  pengetahuan  dan  pengkayaan
iman.  Itu  sebabnya  ketika  melaksanakan i'tikaf, dianjurkan
untuk  memperbanyak  doa  dan  bacaan  Al-Quran,  atau  bahkan
bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
 
Malam  Qadar  yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali
adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung  tentang
diri  beliau  dan  masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai
kesuciannya,  turunlah  Ar-Ruh  (Jibril)  membawa  ajaran  dan
membimbing  beliau  sehingga  terjadilah perubahan total dalam
perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat  manusia.
Karena  itu  pula  beliau  mengajarkan  kepada  umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar  itu,  antara  1ain
adalah melakukan i'tikaf.
 
Walaupun  i'tikaf  dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu
berapa lama saja --bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i,  walau
sesaat  selama dibarengi oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw.
selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan
puasa.  Di  sanalah  beliau  bertadarus  dan  merenung  sambil
berdoa.
 
Salah satu doa yang  paling  sering  beliau  baca  dan  hayati
maknanya adalah:
 
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
 
Doa ini bukan  sekadar  berarti  permohonan  untuk  memperoleh
kebajikan  dunia  dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih
lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih
kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang
disertai  usaha.  Permohonan  itu  juga  berarti  upaya  untuk
menjadikan  kebajikan  dan  kebahagiaan  yang  diperoleh dalam
kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di  dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
 
Adapun   menyangkut   tanda   alamiah,   maka  Al-Quran  tidak
menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal  tersebut,
tetapi  hadis  tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar
hadis yang dikenal  melakukan  penyaringan  yang  cukup  ketat
terhadap hadis Nabi Saw.
 
Muslim,  Abu  Daud,  dan  Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan
melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
 
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada
pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
 
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
 
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan
sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula
panas ...
 
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan  karena  itu
kita  dapat  berkata  bahwa  tanda  yang  paling jelas tentang
kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian  dan
ketenangan.  Semoga  malam  mulia  itu berkenan mampir menemui
kita.[]

----------------------------------------------------------------------------------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

Iman Itu idah.


oleh Nihayaelka
Pagi ini, di hari Sabtu saya kembali memperoleh pelajaran Tauhid. Seperti biasa Bapak Hanafi menyalakan speaker me-replay DVD pengajian al-Hikam Ibnu Athaillah,  dari salah seorang kyai dari ponpes Bahrul Ulum Jombang sana. Dan seperti biasa, saya sedikit mendengarkan sayup-sayup dari kamar di bawah selimut karena tiap pagi saya selalu merasa kedinginan karena penyakit alergi. Ini ada sedikit yang aku tangkap dan mememorikannya kemudian bisa aku tulis di sini. Semoga bermanfaat.
Bismillahirrahmanirrahiim. Alfatihah…
Iman itu indah. Dan sebenar-benarnya keindahan iman itu akan terasa salah satunya  bila kita tidak terusik oleh segala perbedaan yang ada di dunia ini.
Janganlah menebangi pohon, jangan merusak gereja dan vihara orang-orang untuk mereka beribadah. Apa hak kita melakukannya? Tidak ada, sungguh kita tidak punya hak melakukannya.
Biar saja orang-orang melakukan segala sesuatu menurut kepercayaan dan keyakinannya masing-masing asal tak mengganggu, melarang,  dan membatasi kita. Orang mau berkata apa terserah, bahkan orang mau bertindak atau berbuat apa terserah. Sungguh Tuhan tidak perlu dibela dengan kita melakukan semua itu. Kita hanya perlu membela bagaimana agar kita bisa bebas berekspresi dalam beribadah kepada-Nya di dunia ini. Kita baru boleh melawan bila kebebasan berekspresi dalam beribadah kita dilarang dan dibatasi oleh orang lain.
Mengapa demikian? Karena Tuhan sudah berfirman bahwasannya kebenaran dan kesesatan itu sudah nyata adanya, sudah nyata bagi kaum yang mau berfikir. Hanya mereka yang diberi rahmat dan hidayah-Nya yang mampu melihat kebenaran dan kesesatan itu adalah beda dan bagaimana bedanya. Dan hanya orang-orang yg dikehendaki-Nya yang memperoleh kelebihan itu. Itulah mengapa setiap manusia diberi akal dan hati, untuk menyerap segala yang ada, untuk kita belajar sesungguhnya. Seperti filosofi lebah yang menghisap madu dari berbagai macam bunga, namun yang keluar darinya adalah madu yang bermanfaat. Kita dapat menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai "sebuah" guru. Hukum alam saja tidak mebatasi, mengapa kita membatasi diri dan kemudian berfikiran sempit?
Mengapa? Apakah Tuhan pilih kasih? Tentu tidak. Justru Tuhan menciptakan segala perbedaan di dunia ini karena kebesaran rahmat-Nya bagi makhluk semesta alam.
Jadi, mengapa kita mempersoalkan perbedaan? Inilah latar belakang mengapa umat islam harus bersikap toleransi. Karena sekarang banyak yang mempersoalkan, apakah toleransi berarti pluralisme? Saya sendiri lebih suka mengartikan pluralisme sebagai “melepas formalisme beragama saat kita bercampur dan bergaul dengan mereka yang berbeda agama”, karena kita adalah sama-sama makhluk Tuhan yang dikasihi-Nya.
Seharusnya perbedaan keyakinan tak menjadi persoalan, sama halnya dengan perbedaan budaya antar umat manusia tak menjadi persoalan. Karena ini penting bagi kita umat manusia untuk bisa bersatu membangun peradaban dunia yang lebih maju. Kita tak perlu risih dengan adanya perbedaan. Tak mungkin peradaban di dunia ini maju hanya diprakarsai oleh satu agama saja, misal, oleh agama Islam sahaja. Lha wong dunia ini ditempati oleh macam-macam manusia dari berbagai latar belakang kok yaa…
Coba dan mari kita tengok,
Sekarang ini kita dirisaukan oleh orang-orang yang sibuk ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam. Apabila itu terjadi, lalu bagaiamana nasib orang-orang yang bukan Islam? Apa mereka disuruh pergi dari Tanah Air Tumpah Darah-nya sendiri? Tak akan mungkin itu terjadi. Waktu Zaman Rasulullah saja tidak ada kok yang namanya Negara Islam. Kita mau membangun Negara Islam darimana? Zaman Rasulullah itu adanya Negara Madinah. Di sana hiduplah bermacam-macam manusia dari berbagai etnis dan kalangan. Orang Yahudi banyak, orang Protestan juga banyak, Orang Tiongkok pun melakukan transaksi berdagang di sana dan tak merasa tak nyaman.
Jadi, janganlah kita merasa terganggu dengan cemooh yang tidak penting yang terlontarkan dari mulut-mulut orang-orang bodoh, dari mereka yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Sesungguhnya mereka hidup tidak menggunakan akal dan hati mereka. Mata dan telinga mereka terbuka namun tertutup oleh penyakit hati. Tidak ada gunanya, menghabiskan waktu saja.
Biarkan hati kita dipenuhi oleh iman yang indah, yang Allah anugerahkan kepada kita dengan penuh kasih sayang. ….lillahita’ala. Karena sesungguhnya, kebenaran dan kesesatan itu sudah nyata bagi mereka yang mau berfikir. Dengan begitu, segala yang kita lakukan natinya akan menjadi indah, tidak hanya bila dilihat dari kacamata sendiri melainkan juga dari kacamata orang-orang yang berbeda dari kita. Dan keindahan yang kita lakukan akan dapat membangun peradaban umat manusia yang selama ini kita impikan menjadi nyata, tidak seperti sekarang ini. Peradaban yang baik itu adalah yang mampu menjadikan dunia ini lebih baik. Betapa pentingnya peradaban seperti itu bagi dunia dan seisinya, bagi generasi penerus selanjutnya.
Intinya, persatuan dan kesatuan itu adalah sebagian dari iman.

Urgensi dan Mekanisme Do’a


oleh Alexis Carrel di buku La Priere
Urgensi Doa
banyak sekali filosof, pemikir, atau kaum agamawan yang berbicara tentang do’a. tapi lain halnya bila seorang biolog dan neurologmenyelidiki pengaruh do’a dalam berbagai penyakit dan operasi yang telah dia jalankan. Alexis Carrel percaya akan urgensi do’a. Dia adalah scientist yang patut dihormati. Dalam sebuah karyanya yang bertahun-tahun lalu di terjemahkan ke dalam bahasa Persia, orang-orang yang mengenal doa sebagai bagian dari ajaran agama akan sangat ditakjubkan olehnya.
Tentang doa, antara lain demikian dia berkata : “Pengabaian doa dan tata caranya adalah pertanda kehancuran suatu bangsa. Masyarakat yang mengabaikan ibadah (baca: doa kepada Allah) adalah masyarakat yang berada di ambang kemunduran dan kehancuran yang vital. Roma adalah bangsa yang agung. Namun secepat mereka meninggalkan ibadah berdoa, secepat itu pula kehinaan dan kelemahan menimpa mereka”.
Keterangan Alexis di atas bukan hanya indah dan puitis, tetapi juga begitu pelik dan filosofis. Selanjutnya dia berkata : “Doa adalah pusaka yang selalu menyertai pendoa. Pendoa akan terimbas cahaya doa dan ibadah di saat-saat diam dan geraknya, dan juga pada tatapan wajahnya. Pendoa kan bersama pusaka itu di mana pun ia berada”.
Mekanisme Doa
Selanjutnya Alexis Carrel menjelaskan cara kerja efek doa: “Doa mestinya berakar dari kekuatan, kesinambungan, dan keikhlasan". Demikian pula ia mesti berasal dari kata hati yang spontan dan bergairah.” Memang “spontanitas yang bergairah” itu indah sekali.
Betapa banyakteks doa islam, seperti nasihat Carrel, yang bernada menganjurkan kita bermunajat seperti “permintaan bayi cerewet yang merengek di hadapan ibunya.” Teks-teks doa islam penuh dengan animo seperti itu.
Doa hendaknya juga mempunyai intensitas (kekhusyukan), sehingga doa tidak seperti halnya untaian kalimat yang mempermainkan Tuhan; dengan memperdengarkannya pada lidah dan melupakannya di kalbu. Sementara orang menipu diri dengan mengangan-angankan dua pahala. Mereka hadir di majelis pengkaderan sambil memanjatkan doa dan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Lebih konyol lagi bahwa sebagian mereka malah ada yang “mimpi”mendapat tiga pahala sekaligus; telinga mereka mendengarkan ceramah, kedua mata mereka menbaca ayat-ayat al-Qur’an, dan lidah mereka menggumamkan dzikir. Apa mereka menyadari bahwa itu tidak mungkin?prinsip intensitas dalam berdoa menentangnya. Intensitas sangat menentukan dalam berdoa. Konsentrasikan semua yang anda miliki dalam berdoa. Jika demikian, barulah doa dapat disebut intens dan berakar.
Mungkin banyak di antara kita yang sebelum ini telah mendengar anjuran seperti tersebut di atas. Tetapi di bawah ini, Carrel menambahkan butir yang boleh jadi belum kita kenal. “Mereka berdoa dengan teriakan-teriakan yang membuat orang yang mendengarkannya menyumbat telinga mereka , dari pagi sampai separuh siang layaknya binatang-binatang buas. Bertingkah seperti itu dalam berdoa tidak akan mempengaruhi batin mereka sama sekali,” tulis Alexis Carrel.
Artinya, doa mereka tercemar oleh bisingnya teriakan. Lidah mereka berteriak keras-keras, hingga “menulikan “ hati dan jiwa mereka. Mereka berkicau seperti beo. Nilai perbuatan mereka tak ubahnya seperti suara-suara binatang belaka. Doa mereka di pagi hari, terlupakan di siang hari.
Kapan sebenarnya seseorang itu berdoa? Kapan hatinya terikat erat dengan doanya? Jawabnya, jika pendoa mendapat pengaruh dan manfaat dari doanya dalam segenap keadaan dan hubungannya, baik dalam keluarga atau dalam masyarakatnya. Jika demikian halnya, doa akan member pengaruh yang luas dan dalam. Jiwa serta eksistensi pendoanyaakan selalu mencamkan firman Allah: Tahukah engkau akan orang yang mendustakan agama ini? Dialah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memperhatikan makanan orang miskin. Celaka bagi orang-orang yang berdoa dan melalaikan doanya itu…
Lazimnya, seseorang yang berdoa itu mengharapkan doanya tiba-tiba saja diterima. Dia mengharapkan doa itu manjur. Suatu kali nabi Isa a.s. melewati sebuah jalan. Di ujung jalan duduklah seorag buta.pada saat Nabi Isa mendekat ke arahnya, dan si buta itu mengetahuinya, segera dia melompat dan memohon dengan marah dan kasar dari beliau agar penglihatannya dikembalikan. Sebelum dia menyelesaikan rengekannya itu, Nabi Isa berkata kepadanya: “Semoga Allah lebih dulu mengembalikan imanmu.”
dikaji ulang oleh Nihayaelka

Ali al-Ausath bin Husain RA.

Imam Ali as-Sajjadah

 -dikaji ulang oleh Nihayaelka-

Sepeninggal Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, banyak masalah internal dihadapi kaum muslimin. Rangkaian peristiwa politik, ekonomi, dan pemberontakan bersenjata terjadi bersusulan. Lebih-lebih sejak terbunuhnya Khalifah ke-3, ‘Ustman bin Affan RA. kehidupan kaum muslimin penuh dengan curiga, prasangka, dan permusuhan. Sebagian kaum muslimin gila kekuasaan. Mereka tak lagi menghiraukan apa pun, tidak segan-segan menghabisi siapa pun yang menentang. Mereka bahkan tega memerangi segenap keturunan Nabi SAW. Akan tetapi, pengecualian patut diberikan kepada salah satu buyut Rasulullah SAW.


Beliau mempunyai nama asli Ali al-Ausath. Setelah dewasa, kaum muslimin memanggilnya ‘Ali Zainal Abidin’ yang bermakna “Orang terbaik yang bersembah sujud kepada Allah”


Ayahnya adalah Husein RA. Dan ibunya adalah seorang wanita cucu Kisra (Maharaja) Persia Dinasti Sassanid yang bernama Syah Zinan atau Syahrbanu. Ia terlahir pada 5 Sya’ban tahun 50 Hijriah. Tak lama setelah kelahirannya ibundanya meninggal dunia. Sejak saat itulah ia diasuh oleh bibinya, Zainab binti Ali bin Abi Thalib RA. Sedangkan ayahnya, Husein RA, wafat di padang Karbala dalam suatu tragedy pembantaian oleh Ubaidillah bin Ziyad. Waktu itu, ia menyaksikan langsung peristiwa yang memilukan itu bersama bibinya.


Walaupun tak mengalami masa kelahiran Islam, tapi cucu Ali bin Abi Thalib ini, sangatlah pandai memahami perkembangan sejarah umat islam dari waktu ke waktu. Perkembangan kaum Muslimin sepeninggalan buyutnya (Rasulullah SAW) yang penuh dengan berbagai rintangan dan tantangan, disikapinya dengan arif. Oleh karena itu, bila mendengar ada orang yang menrendahkan atau meremehkan para sahabat yang termasuk dalam kelompok Assabiqunal Awwalun, terutama Khalifah Rasyidin, ia sangat tertusuk hatinya.


Dikisahkan, pada suatu hari, ia menerima kedatangan beberapa orang tamu dari Irak. Dalam percakapannya, mereka mngingkari keutamaan Abu Bakar as-Shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA. Mereka melontarkan kata-kata yang tidak sedap didengar. Zainal Abidin mendengarkan kecaman dan cercaan mereka dengan penuh kesabaran. Setelah it, barulah ia bertanya, “apakah kalian termasuk kaum Muhajirin yang di dalam Alqur’an surat al-Hasyr: 8 yang menegaskan “Mereka yang diusir dari kampong halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya?” mereka menjawab, “Bukan…!”

Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang di dalam Alqur’an surat al-Hasyr: 97 menegaskan “Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?”

“Bukan…!”, jawab mereka.

“Jika kalian tidak termasuk dalam golongan itu, saya berani berkata bahwa kalian itu bukan kaum Muhajirin yang disebut Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10, “ Orang-orang yang datang setelah mereka (yakni setelah kaum Muhajirin dan kaum Anshar) yang berdo’a kepada Allah : Ya Allah, Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dulu (sebelum kami) dan janganlah Engkau tanamkan kedengakia di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Maha Penyayang dan Maha Pengasih”.

Setelah berkata seraya menunjuk ayat-ayat suci tersebut, ia lalu bersuara keras menghardik, “Enyahlah kalian dari rumahku ini!”. Para tamu yang datang itu benar-benar terkejut melihat Zainal Abidin  gusar mendadak. Mereka tidak menduga sama sekali bahwa buyut Rasulullah SAW itu sangat menghormati Abu Bakar dan Umar RA, dua orang sahabat nabi yang berjasa besar bagi Islam dan kaum Muslimin.


Begitu pula saat ia berjalan-jalan di suatu pagi. Tiba-tiba didengarnya seseorang memakinya tanpa alasan selain karena beliau cucu (keturunan) Ali bin Abi Thalib RA. Ia menoleh kea rah datangnya suara itu. Lalu dengan sikap tenang perlahan-lahan mendekatinya. Dari penampilan orang yang memakinya itu, Zainal Abidindapat menduga, bahwa orang tersebut sebenarnya hanyalah orang suruhan yang mengahrapkan upah dari pihak yang menyuruhnya. Maka dengan tutur kata lembut, Zainal Abidin bertanya, “Saya sama sekali tidak tahu apa sebab anda memaki-maki diri saya. Katakanlah terus terang apakah diri anda membutuhkan saya?” orang tersebut merasa malu atas pertanyaan Zainal Abidin, dan ia memberitahu tempat pemukimannya. Setelah itu ia pergi menjauhkan diri.

Petang harinya Zainal Abidin datang ke rumah orang tersebut membawa kantong 5000 dirham dan diserahkannya kepadanya untuk mencukupi kebutuhannya yang sangat mendesak.sambil menerima pemberian itu, orang tadi berkata sambil menitikkan air mata, “Maafkanlah kesalahan saya… anda memang benar-benar keturuna mulia Rasulullah SAW!”. Dalam peristiwa lain, Zainal Abidin member pelajaran kepada kaum Muslimin. Peristiwanya terjadi ketika penduduk Madinah melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan bani Umayyah kala itu, kota tersebut berada di bawah seorang penguasa yang sangat keras memusuhi segenap keturunan Rasulullah SAW, yaitu Marwan bin al-Hakam.


Pada sejarah Islam, nama itu tidak asing lagi sebagai biang keladi yang mengakibatkan timbulnya pemberontakan terhadap khalifah Usman bin Affan RA. Dalam pemberontakan di Madinah itu, Marwan kewalahan menghadapi penduduk, sehingga ia berada dalam posisi terjepit yang sangat membahayakan jiwanya dan semua anggota keluarganya, termasuk istrinya, Aisyah binti Usaman bin Affan RA. Marwan berusaha mendapatkan pertolongan dari putra Umar bin Khattab yakni Abdullah bin Umar bin Khattab RA.


Tanpa malu-malu ia minta kepada Zainal Abidin agar bersedia menjamin keselamatan keluarganya yang hendak ia tinggal lari meninggalkan Madinah. Zainal Abidin sejak kecil telah mengenal siapa Marwan bin al-Hakam itu. Marwan tak lain adalah seorang tokoh bani Umayyah yang turut memainkan peran yang menyebabkan tewasnya ayahandanya, Husein bin Ali RA di padang Karbala.


Setelah selamat dari padang pembantaian Karbala, Zainal Abidin memilih belajar agama kepada sahabat-sahabat nabi yang masih hidup. Zainal Abidin memilih menjauhkan diri dari kegiatan politik menentang kekuasaan Bani Umayyah. Berdasarkan pengalaman, ia berpendapat bahwa pertengkaran mengenai kekuasaan duniawi terbukti hanya mengakibatkan perpecahan kaum Muslimin dan mengorbakan beribu-ribu jiwa. Ia yakin, untuk memperbaiki kehidupan umat masih dapat dicapai melalui ishlah dan ihsan (mengusahakan perbaikan dan menciptakan kebaikan).


Kurang lebih 30 tahun Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid Nabawi di Madinah. Ratusan kaum Muslimin datang di berbagai pelosok dunia Islam untuk menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi yang bernama “Madrasah Ahlul Bait”. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan.


Pada zamannya, Zainal Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia sangat di hormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlaq dan ketinggian budi pekertinya.


Zainal Abidin wafat dalam usia 57 tahun dengan meninggalkan beberapa orang putra dan putrid, di antaranya adalah Muhammad al-Baqir. Jenazahnya dimakamkan di Baqi Madinah berdekatan dengan makam pamandanya, Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Diantara karya-karyanya yang masih terpelihara baik sebagai pusaka hingga sekarang adalah Risalah Huquq dan As-Sajjadiyyah.