Indonesia Satu Zona Waktu?
by: zulFIKAR
Tulisan ini untuk menanggapi tulisan Henny-Bali tentang zona waktu.. Sedikit kutipan dr artikel tsb : “Kok bisa sih waktu di Bali sama dengan di Singapore?? Padahal Singapore kan jauh lebih ke Barat dibandingkan Bali??…"
Apa yang dilakukan Singapore sama dengan yang berlaku di Malaysia?Apa lagi Singapore dan Malaysia dulunya satu negara.Coba tengok bagaimana bandara-bandara utama Malaysia di Peninsula seperti KL, Ipoh, Johor, Penang, dan lain-lain yang posisinya lebih Barat dari Jakarta, bisa disamakan waktunya dengan Sabah dan Sarawak di pulau Kalimantan yang notabene sama dengan WITA di Indonesia? Dari hal ini, keuntungan apa yang sudah didapat Malaysia? Selain penghematan energi listrik di Semenanjung, seolaholah malam menjadi tertunda, lampu-lampu ditunda penyalaannya, aktivitas di seluruh negeri yang serentak tentu saja menjadikan hubungan menjadi lebih efektif..
Selain itu, mereka yang di ibukota negara KL dan lain-lain lebih cepat memperoleh informasi, lebih awal beraktivitas, dan sebagainya. Kondisi ini diyakini oleh sebagian orang Malaysia sedikit banyaknya memiliki andil dalam peningkatan perekonomian Malaysia.. Info dari kawan di Malaysia, sebelumnya pun negara Malaysia di Semenanjung dan di Pulau Kalimantan berbeda waktu dan belakangan disamakan pada era Mahatir..
Jadi, masalah waktu memang hanyalah kesepakatan, termasuk zona waktunya. Lihat gimana masyarakat Eropa menyesuaikan jam pada waktu-waktu tertentu. Di Belanda, kebijakan menerapkan waktu musim panas dan musim dingin telah dimulai pada 1977. Setiap tahun waktu musim panas ini dimulai pada Minggu dinihari terakhir di bulan Maret dan berakhir pada Minggu dinihari terakhir di bulan Oktober. Sebenarnya waktu musim dingin itu adalah waktu riil, sedangkan waktu musim panas adalah waktu rekayasa. Pada saat masuk waktu musim dingin (akhir Oktober), Waktu mundur satu jam. Malam akan jadi lebih awal gelap, dan pagi menjadi lebih awal terang.Tepat jam 03.00 dinihari waktu resmi mundur satu jam ke posisi jam 02.00. Tidur malam juga menjadi lebih panjang satu jam. Selisih dengan waktu Indonesia bagian barat (WIB) menjadi 6 jam dari semula 5 jam di musim panas.
Penerapan waktu musim panas itu motivasinya adalah untuk menghemat energi dan uang.Menurut EnergieNed, berkat kebijakan tersebut tahun 2006 misalnya, Belanda dapat menghemat energi listrik sebesar 350 juta KWh atau setara dengan 0,3% dari total penggunaan listrik di Belanda. Jika dikonversi ke uang, penghematan itu sama nilainya dengan Euro10/tahun per satuan rumah tangga atau Euro 60 juta (sekitar Rp 690 miliar) secara nasional. Sebuah nilai penghematan yang cukup signifikan.
Yang lainnya, coba perhatikan Cina. Jika menganut pembagian zona waktu ala Indonesia, setiap beda 15 derajat garis bujur bumi ditetapkan beda 1 jam, mestinya Cina membagi wilayahnya menjadi empat zona waktu. Namun negeri yang luasnya 1/15 luas daratan bumi itu hanya menerapkan satu zona waktu saja.
Artinya apa? Kita bisa saja menyepakati waktu/jam jika seandainya menguntungkan untuk semua. Indonesia satu zona waktu?? Indonesia sesungguhnya juga dapat menghemat jutaan KWh dan uang miliaran rupiah per tahun, dengan menerapkan kebijakan yang serupa tapi tak sama. Misalnya dengan menghapus WIB, WITA dan WIT menjadi hanya satu zona waktu saja. Tiga bagian waktu di Indonesia nampaknya mulai ada wacana untuk disamakan. Topik tersebut pernah ditulis di sebuah situs berita online dan didiskuksikan dengan antusias di salah satu milis operation management Indonesia.
Salah satu pilihan yang mengemuka adalah waktu disamakan dengan WITA : WIB maju 1 jam & WIT mundur 1 jam. Penerapan kebijakan satu zona waktu untuk seluruh Indonesia itu salah satu keuntungannya adalah akan membuat seolah-olah kedatangan malam menjadi tertunda di sebagian besar wilayah Indonesia, yang efeknya akan mendorong orang menunda menyalakan lampu. Berarti ada potensi penghematan energi disini, demand side management in electricity. Dengan semakin mahalnya biaya pokok penyediaan listrik, pemerintah dan PLN pasti setuju ini.
Selanjutnya, kota-kota bagian Barat Indonesia (WIB) yang relatif lebih dominan di hampir semua bidang dibandingkan Timur Indonesia utamanya ekonomi, jadi memulai aktivitas dan memperoleh informasi lebih awal dari sebelumnya. Perdagangan internasional termasuk pasar modal dan valas akan lebih awal dimulai dan menjadi serentak dengan Hongkong dan hanya telat sejam dari Tokyo. Pasti ada keuntungan yang dapat diambil disini. Keuntungan lain, aktivitas ekonomi diseluruh Indonesia dilaksanakan serentak.
Salah satu ilustrasi bagaimana tidak efektifnya pembagian 3 waktu di Indonesia, saya sewaktu bekerja di Jayapura (mulai masuk kantor pukul 08.00 WIT), harus menunggu sampai jam 10.30 WIT (08.30 WIB) hanya untuk melakukan kontak ke kantor pusat atau relasi di Jakarta. Demikian juga sebaliknya karyawan di Indonesia Timur harus mengakhiri aktivitas lebih awal, dibandingkan yang di WIB.
Ruginya, selain pasti ada biaya yang timbul, lainnya adalah masalah perubahan kebiasaan.. Misalnya penduduk di Barat harus memulai aktivitas lebih awal, ketika hari masih agak gelap, namun lambat laun akan terbiasa. Waktu shalat yang mengikuti kaidah posisi matahari, sholat dzuhur di Jakartamenjadi pkl 13.15, dengan sendirinya ISHOMA (Istirahat Sholat dan Makan) menjadi antara jam 13.00-14.00. Kemudian shalat Maghrib
menjadi pukul 19.30, menunggu matahari terbenam, dsb. Hal ini yang berlaku di bandara-bandara Semenanjung Malaysia saat ini.
menjadi pukul 19.30, menunggu matahari terbenam, dsb. Hal ini yang berlaku di bandara-bandara Semenanjung Malaysia saat ini.
Sekarang, mengapa pembagian 3 zona waktu itu harus dipertahankan, jika ternyata terobosan baru bisa lebih mendatangkan keuntungan dan efisiensi secara nasional? Lagipula pembagian wilayah Indonesia menjadi 3 zona waktu itu agak aneh. Contohnya: Bali dan Surabaya yang secara faktual hanya berbeda beberapa menit saja, namun akibat dari pembatasan wilayah waktu menjadi berbeda 1 jam.
Dari salah seorang yang pro -Indonesian Time Synchronisation- pada pembahasan topik ini disebuah milis, menulis : “motor penggerak aja perlu disinkronkan, kalau nggak pingin chain atau beltnya putus. Maka penyinkronan waktu antara WIT,WITA, dan WIB bisa menjadi salah satu pemicu awal dari penyinkronan-penynkronan yang lain. Karena terlalu banyak hal di negeri ini yang memang tidak berjalan secara sinkron. Direct impact mungkin kecil, tapi multiple impact-nya yang bakalan LUAR BIASA!!! Ibarat kata, dari tiga motor yang saling tubruk-tubrukaan, menjadi tiga buah motor yang saling mendukung…WUSH! WUSH!! WUSH!!!
Persoalannya sekarang, siapakah di negeri ini yang berwenang dan bisa melakukan sinkronisasi ini? Dan hal apa sajakah yang perlu dipersiapkan untuk menimplementasikan Indonesian Single Time? Hal-hal inilah yang menurutku perlu untuk dipikirkan dan didiskusikan lebih lanjut.
Kita semua ingin perubahan, dan pastinya yang positif. Sebagai bangsa dan negara dengan potensi yang besar ini, namun belum maksimal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, memang banyak perubahan yang harus kita lakukan. Walaupun masih berupa wacana, Indonesia Satu Zona Waktu ini mungkin bisa jadi salah satu perubahan di Indonesia yang dapat kita tempuh.
/-Selangor, 23/01/2008 ; 19.20 Peninsular Time, saat matahari belum terbenam…-/
Source: artikel : http://www.kompascommunity.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60783§ion=92
/-Selangor, 23/01/2008 ; 19.20 Peninsular Time, saat matahari belum terbenam…-/
Source: artikel : http://www.kompascommunity.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60783§ion=92
wah keren, baru tahu ...
BalasHapussemoga bermanfaat..
BalasHapusiya juga ya..
BalasHapus-astri-