Imam Ali as-Sajjadah
Ali al-Ausath bin Husain RA.
Sepeninggal Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, banyak masalah internal dihadapi kaum muslimin. Rangkaian peristiwa politik, ekonomi, dan pemberontakan bersenjata terjadi bersusulan. Lebih-lebih sejak terbunuhnya Khalifah ke-3, ‘Ustman bin Affan RA. kehidupan kaum muslimin penuh dengan curiga, prasangka, dan permusuhan. Sebagian kaum muslimin gila kekuasaan. Mereka tak lagi menghiraukan apa pun, tidak segan-segan menghabisi siapa pun yang menentang. Mereka bahkan tega memerangi segenap keturunan Nabi SAW. Akan tetapi, pengecualian patut diberikan kepada salah satu buyut Rasulullah SAW.
Beliau mempunyai nama asli Ali al-Ausath. Setelah dewasa, kaum muslimin memanggilnya ‘Ali Zainal Abidin’ yang bermakna “Orang terbaik yang bersembah sujud kepada Allah”
Ayahnya adalah Husein RA. Dan ibunya adalah seorang wanita cucu Kisra (Maharaja) Persia Dinasti Sassanid yang bernama Syah Zinan atau Syahrbanu. Ia terlahir pada 5 Sya’ban tahun 50 Hijriah. Tak lama setelah kelahirannya ibundanya meninggal dunia. Sejak saat itulah ia diasuh oleh bibinya, Zainab binti Ali bin Abi Thalib RA. Sedangkan ayahnya, Husein RA, wafat di padang Karbala dalam suatu tragedy pembantaian oleh Ubaidillah bin Ziyad. Waktu itu, ia menyaksikan langsung peristiwa yang memilukan itu bersama bibinya.
Walaupun tak mengalami masa kelahiran Islam, tapi cucu Ali bin Abi Thalib ini, sangatlah pandai memahami perkembangan sejarah umat islam dari waktu ke waktu. Perkembangan kaum Muslimin sepeninggalan buyutnya (Rasulullah SAW) yang penuh dengan berbagai rintangan dan tantangan, disikapinya dengan arif. Oleh karena itu, bila mendengar ada orang yang menrendahkan atau meremehkan para sahabat yang termasuk dalam kelompok Assabiqunal Awwalun, terutama Khalifah Rasyidin, ia sangat tertusuk hatinya.
Dikisahkan, pada suatu hari, ia menerima kedatangan beberapa orang tamu dari Irak. Dalam percakapannya, mereka mngingkari keutamaan Abu Bakar as-Shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA. Mereka melontarkan kata-kata yang tidak sedap didengar. Zainal Abidin mendengarkan kecaman dan cercaan mereka dengan penuh kesabaran. Setelah it, barulah ia bertanya, “apakah kalian termasuk kaum Muhajirin yang di dalam Alqur’an surat al-Hasyr: 8 yang menegaskan “Mereka yang diusir dari kampong halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya?” mereka menjawab, “Bukan…!”
Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang di dalam Alqur’an surat al-Hasyr: 97 menegaskan “Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak mempunyai pamrih apa pun dalam memberikan bantuan kepada kaum Muhajirin. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?”
“Bukan…!”, jawab mereka.
“Jika kalian tidak termasuk dalam golongan itu, saya berani berkata bahwa kalian itu bukan kaum Muhajirin yang disebut Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10, “ Orang-orang yang datang setelah mereka (yakni setelah kaum Muhajirin dan kaum Anshar) yang berdo’a kepada Allah : Ya Allah, Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dulu (sebelum kami) dan janganlah Engkau tanamkan kedengakia di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Maha Penyayang dan Maha Pengasih”.
Setelah berkata seraya menunjuk ayat-ayat suci tersebut, ia lalu bersuara keras menghardik, “Enyahlah kalian dari rumahku ini!”. Para tamu yang datang itu benar-benar terkejut melihat Zainal Abidin gusar mendadak. Mereka tidak menduga sama sekali bahwa buyut Rasulullah SAW itu sangat menghormati Abu Bakar dan Umar RA, dua orang sahabat nabi yang berjasa besar bagi Islam dan kaum Muslimin.
Begitu pula saat ia berjalan-jalan di suatu pagi. Tiba-tiba didengarnya seseorang memakinya tanpa alasan selain karena beliau cucu (keturunan) Ali bin Abi Thalib RA. Ia menoleh kea rah datangnya suara itu. Lalu dengan sikap tenang perlahan-lahan mendekatinya. Dari penampilan orang yang memakinya itu, Zainal Abidindapat menduga, bahwa orang tersebut sebenarnya hanyalah orang suruhan yang mengahrapkan upah dari pihak yang menyuruhnya. Maka dengan tutur kata lembut, Zainal Abidin bertanya, “Saya sama sekali tidak tahu apa sebab anda memaki-maki diri saya. Katakanlah terus terang apakah diri anda membutuhkan saya?” orang tersebut merasa malu atas pertanyaan Zainal Abidin, dan ia memberitahu tempat pemukimannya. Setelah itu ia pergi menjauhkan diri.
Petang harinya Zainal Abidin datang ke rumah orang tersebut membawa kantong 5000 dirham dan diserahkannya kepadanya untuk mencukupi kebutuhannya yang sangat mendesak.sambil menerima pemberian itu, orang tadi berkata sambil menitikkan air mata, “Maafkanlah kesalahan saya… anda memang benar-benar keturuna mulia Rasulullah SAW!”. Dalam peristiwa lain, Zainal Abidin member pelajaran kepada kaum Muslimin. Peristiwanya terjadi ketika penduduk Madinah melancarkan pemberontakan terhadap kekuasaan bani Umayyah kala itu, kota tersebut berada di bawah seorang penguasa yang sangat keras memusuhi segenap keturunan Rasulullah SAW, yaitu Marwan bin al-Hakam.
Pada sejarah Islam, nama itu tidak asing lagi sebagai biang keladi yang mengakibatkan timbulnya pemberontakan terhadap khalifah Usman bin Affan RA. Dalam pemberontakan di Madinah itu, Marwan kewalahan menghadapi penduduk, sehingga ia berada dalam posisi terjepit yang sangat membahayakan jiwanya dan semua anggota keluarganya, termasuk istrinya, Aisyah binti Usaman bin Affan RA. Marwan berusaha mendapatkan pertolongan dari putra Umar bin Khattab yakni Abdullah bin Umar bin Khattab RA.
Tanpa malu-malu ia minta kepada Zainal Abidin agar bersedia menjamin keselamatan keluarganya yang hendak ia tinggal lari meninggalkan Madinah. Zainal Abidin sejak kecil telah mengenal siapa Marwan bin al-Hakam itu. Marwan tak lain adalah seorang tokoh bani Umayyah yang turut memainkan peran yang menyebabkan tewasnya ayahandanya, Husein bin Ali RA di padang Karbala.
Setelah selamat dari padang pembantaian Karbala, Zainal Abidin memilih belajar agama kepada sahabat-sahabat nabi yang masih hidup. Zainal Abidin memilih menjauhkan diri dari kegiatan politik menentang kekuasaan Bani Umayyah. Berdasarkan pengalaman, ia berpendapat bahwa pertengkaran mengenai kekuasaan duniawi terbukti hanya mengakibatkan perpecahan kaum Muslimin dan mengorbakan beribu-ribu jiwa. Ia yakin, untuk memperbaiki kehidupan umat masih dapat dicapai melalui ishlah dan ihsan (mengusahakan perbaikan dan menciptakan kebaikan).
Kurang lebih 30 tahun Zainal Abidin bergiat mengajar berbagai cabang ilmu agama Islam di Masjid Nabawi di Madinah. Ratusan kaum Muslimin datang di berbagai pelosok dunia Islam untuk menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi yang bernama “Madrasah Ahlul Bait”. Sikap tidak berpihak pada kelompok mana pun tersebut mengundang simpati dari semua kelompok yang bertikai. Zainal Abidin disegani oleh segenap kaum Muslimin baik kawan maupun lawan.
Pada zamannya, Zainal Abidin diakui masyarakat Muslimin sebagai ulama puncak dan kharismatik. Ia sangat di hormati, disegani, dan diindahkan nasihat-nasihatnya. Kenyataan itu tidak hanya karena kedalaman ilmu pengetahuan agamanya, tidak pula karena satu-satunya pria keturunan Rasulullah, tetapi juga karena kemuliaan akhlaq dan ketinggian budi pekertinya.
Zainal Abidin wafat dalam usia 57 tahun dengan meninggalkan beberapa orang putra dan putrid, di antaranya adalah Muhammad al-Baqir. Jenazahnya dimakamkan di Baqi Madinah berdekatan dengan makam pamandanya, Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Diantara karya-karyanya yang masih terpelihara baik sebagai pusaka hingga sekarang adalah Risalah Huquq dan As-Sajjadiyyah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
siip...
BalasHapus